Saya setidaknya telah bekerja di Kampung Bahasa (lebih populer disebut Kampung Inggris) Pare selama dua tahun, sehingga sedikit-banyak saya dapat berkomentar tentang keadaan di sini, terutama masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa, lembaga kursus, dan warga lokal.
Bagi siswa, keadaan yang paling merugikan adalah ketiadaan informasi yang lengkap dan terpercaya tentang Kampung Inggris. Informasi yang beredar di internet sebagian besar didominasi oleh konten dari masing-masing lembaga dan agen yang tentunya dibuat dengan tujuan komersil, bahkan beberapa tidak sesuai keadaan sebenarnya. (Kalau pembaca menemukan website, akun Instagram, atau Line dengan nama Kampung Inggris, Kemungkinan besar banget itu adalah milik salah satu lembaga kursus atau agen, yang juga sudah dibayar lembaga) Ini membuat banyak siswa dan orang tua salah memahami Kampung Inggris Pare sebagai satu lembaga besar yang beroperasi di satu kampung. Nyatanya, di sini ada lebih dari 200 lembaga, yang masing-masing memiliki fokus sendiri. Lebih lanjut ini tentu dapat membuat siswa salah pilih tempat kursus: niatnya belajar bahasa Inggris akademik buat belajar nulis jurnal ilmiah tapi masuk ke kursusan yang fokusnya spoken English. Kasus seperti ini sudah tidak terhitung, apalagi tukang ojek, becak, dan sopir angkot pun sekarang sudah dibayar oleh lembaga kursus. Jadi, kalau ada yang meminta saran ke mereka pasti diarahkan ke lembaga yang bayar.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas pengajaran dan akomodasi. Siswa tak punya banyak pilihan tempat kos atau camp. Dengan harga Rp 300 ribu per bulan harus menikmati kamar dengan 1-2 orang dan fasilitas yang pas-pasan. Pengajar di sini (setahu saya) sebagian besar, termasuk saya, tidak memiliki latar pendidikan pengajaran bahasa, "hanya" mengandalkan pengalaman bagaimana sebelumnya belajar. Kurikulum dan metode pengajaran pun tak disusun berdasarkan penelitian-penelitian di bidang ini. Tanpa bermaksud meremehkan peran pengalaman pribadi pengajar dan hasil uji coba materi di masing-masing lembaga, tentu model seperti ini berisiko menjadikan siswa, yang datang mencari hasil yang semaksimal mungkin, sebagai kelinci percobaan.
Bagi lembaga kursus, mencari pengajar yang mumpuni pun menjadi masalah tersendiri. Sebagian besar lembaga adalah bisnis kecil-kecilan bermodal tipis, sedangkan merekrut sarjana pendidikan bahasa Inggris berarti menyiapkan gaji lebih tinggi. Lagipula mereka yang bernyali untuk menjadi pengajar dan atau membuka kursusan telah membuktikan bahwa mereka bisa speak in English tanpa harus diajar sarjana pendidikan. But what kind or level of English, by the way? Akhirnya, Pare lebih dikenal untuk melatih bahasa Inggris untuk kebutuhan percakapan sehari-hari dan diremehkan di kalangan akademik. Ini adalah tantangan mengingat saat ini semakin banyak kampus atau perusahaan mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris yang lebih tinggi untuk dapat diterima/lulus. Belum lagi ditambah semakin terbukanya akses ke pendidikan di luar negeri, siswa saat ini membutuhkan kemampuan Academic English. Kalau tak berbenah, Kampung Inggris bisa kehilangan pasar.
Lembaga kursus pun memiliki masalah terkait harga sewa lahan dan bangunan yang semakin tidak rasional setiap tahun. Saya menemukan sendiri sebuah ruang tamu yang disekat dengan tripleks menjadi empat kamar disewakan Rp 25 juta per tahun. Bagi lembaga dengan modal kuat, ini bukan masalah, malah masih bisa untung, karena nanti mereka bisa menyewakan masing-masing kamar ke tiga siswa dengan harga Rp 300 ribu per orang. Untuk lembaga bermodal niat, secara tidak langsung ini adalah perintah untuk gulung tikar karena penawaran harga mereka pasti kalah.
Lembaga-lembaga kecil juga tak mampu bersaing di lini-lini lain, marketing misalnya. Di zaman online marketing ini, lembaga kursus harus setidaknya mengeluarkan Rp 1 juta per hari agar dapat menjaring siswa dari Google Ads. Di media yang lain, Instagram dan YouTube, lembaga-lembaga berduit juga merajai karena memiliki sumberdaya untuk membuat konten yang memikat.
Persaingan antar-lembaga yang tak sehat juga tercermin dari saling klaim nama "kampung Inggris" untuk promosi. Bahkan, salah satu lembaga sempat berniat mematenkan nama tersebut sebagai hak ciptanya.
Untuk warga sekitar, majunya Kampung Inggris memang membawa berkah, di sini apapun dapat digunakan untuk menghasilkan uang: jaket, sepatu, sepeda bisa disewakan. Akan tetapi, dampak buruknya juga perlu dipertimbangkan. Masalah utama daerah yang dibajiri pendatang biasanya adalah kriminalitas dan pengamen/pengemis. Dibandingkan daerah lain di sekitarnya, tingkat kriminalitas jauh lebih tinggi di Kampung Inggris. Pengamen dan pengemis saat ini sudah pada tingkatan yang mengganggu kenyamanan.
Warga asli banyak yang menyewakan lahan atau bangunannya untuk aktivitas kursus, dan masalahnya sebagian dari penyewa (pemilik kursusan) nakal. Saya menemui beberapa kasus penyewa yang kabur sebelum melunasi sisa biaya. Pemilik tak tahu harus bagaimana.
Akhir-akhir ini saya pun mendengar isu bahwa warga lokal tidak suka dengan perubahan kebiasaan di daerah mereka. Mereka ingin semua aktivitas di Kampung Inggris harus selesai jam 10 malam: semua kursusan, kafe, dan kosan harus tutup. Untuk pendatang, terutama yang dari kota besar, ini agak mustahil. Beberapa warung kopi dan kafe bahkan baru buka setelah maghrib. Bulan lalu saya sholat Jumat di Masjid Darul Falah Jl Anyelir, Khotib mengutuk "perilaku mesum di salah satu kafe di Kampung Inggris" dan menyeru jamaah untuk turut menertibkan.
Kepadatan daerah ini pun menurut saya sudah melebihi batas. Semua dengan asal-asalan adu cepat membangun kos-kosan, kursusan, dan rumah makan tan mengindahkan faktor-faktor selain ekonomi: lingkungan dan keindahan misalnya. Trotoar pun habis ditempati penjual yang berdesak-desakan. Pejalan kaki terpaksa harus turun ke jalan raya yang kebetulan juga padat dengan kendaraan. Jalan Brawijaya (salah satu yang terpadat) bahkan dilalui bus dan truk, sementara para siswa bersliweran dengan sepeda dan berjalan kaki.
Sebagai salah satu pengurus lembaga, saya pun kesal pada pemerintah yang cukup gencar mensosialisasikan kewajiaban mengurus izin mendirikan lembaga dan membayar pajak namun tak ada peran dalam merapikan semua kekacauan di sini. Forum yang menyatukan lembaga kursus pun belum menjadi wadah yang mampu menampung dan menyampaikan aspirasi, apalagi memoderasi konflik-konflik kepentingan yang ada.
Komentar
Posting Komentar