Langsung ke konten utama

Bersama Pagi

Langit cerah ditinggalkan sang mega merah, angin selatan membawa udara kering dari daratan yang panas di Australia. Berhembus kencang, memotong Samudera Hindia, menembus pulau Jawa dan akhirnyaa sampai di Dusun Kaotan. Sepoi-sepoi cukup untuk menerbangkan layang-layang selebar rentangan tangan. Orang-orang di Desa mulai keluar dari masjid setelah sholat maghrib, 23 April 1993 pukul 18.30.

Seorang ibu 3 anak meringis menahan rasa sakit di perutnya yang mengandung 9 bulan. Ia mengerang berusaha tidak mengeluarkan suara. Sang suami sudah mengerti apa yang dialami istrinya, namun meskipun demikian ia tetap gugup dan panik seperti saat menghadapi persalinan anaknya yang pertama. “Tenanglah Bu’, sekarang kita berangkat kerumah Bu Bidan”, ujar sang suami dengan keringat menetes di pipinya. Setelah itu mereka benar-benar pergi ke tempat praktik seorang bidan di Kecamatan. Melewati jalan desa yang berbatu, mengendarai motor Honda Astrea Impressa keluaran terbaru. Sepeda motor itu dibeli sang suami dari hasil kerja kerasnya selama menjadi guru di sebuah madrasah, 5Km dari rumahnya.

Sesampai di rumah bersalin mereka disambut oleh seorang wanita gemuk yang mungkin tak tampak seperti bidan, namun dialah bidan yang akan membantu persalinan ini nanti, Bu Tutik namanya. Ia mempersilakan sang ibu berbaring di atas ranjang berroda, dengan sang suami yang setia menunggu di sampingnya. Di tempat itu berjam-jam menunggu sang bayi lahir.

Sungguh besar perjuangan sepasang suami-istri ini, selama hampir 5 bulan sang istri tak makan nasi sedikitpun, dan hanya mencerna buah-buahan. Terang saja, tiap kali lidahnya menyentuh nasi ia akan memuntahkan isi perutnya. Oleh karena itu mau tak mau sang suami harus membeli buah-buahan setiap hari, sepulang mengajar. Tak peduli cemoohan orang-orang di pasar yang kekurangan topik pembicaraan. Hari demi hari ia selalu mampir ke penjual buah yang sama. Akhirnya diapun merasa malu pada orang-orang di pasar yang selalu memandanginya dengan tatapan aneh. Masih demi istri dan bayi yang dikandungya, ia rela pergi ke kota untuk membeli buah-buahan. Padahal ia harus menempuh jarak dua kali lebih jauh dari biasanya.

Semua itu dilakukannya tanpa mengeluh, karena ia telah melakukan hal yang sama pada saat istrinya mengandung anak-anakya yang lain, kecuali saat mengandung anak keduanya. Saat itu sang istri dapat makan dengan normal. Akan tetapi hal initernyata adalah pertanda buruk yang kelak akan membuat keduanya menangis.

Pukul 01.00 tanggal 24 April 1993. Sang suami terbangun dari tidurnya dan mendapati istrinya tertidur pulas dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Padahal beberapa jam yang lalu ia mengira istrinya akan melahirkan. Ia pun mulai ragu akan keputusannya membawa sang istri ke tempat ini. Ia beranjak keluar dari kamar bersalin itu dan menyusuri lorong rumah mencari tempat wudlu dan sholat. Ia ingin mengadukan rasa gundah hatinya pada Sang Pencipta, memohonkan keselamatan Istri dan kandungannya, menyampaikan keinginan keluarganya untuk mempunyai anak perempuan.

Pak, bangun Pak.”, seorang anak Bu Tutik membangunkannya yang tertidur selepas sholat shubuh. “Istri Bapak akan melahirkan”, tambah si anak. Seletika itu ia bangun dari tidurnyadan berjalan cepat-cepat menuju kamar bersalin istrinya. Di kamar itu sedang terjadi adegan melahirkan seperti adegan-adegan melahirkan di sinetron. Sang istri berkeringat menahan rasa sakit dan berusaha mengeluarkan bayinya dari dalam kandungan. Bu bidan tak henti-hentinya memberikan semangat, “ayo bu, dorong…,tarik nafas,dorong lagi”, sampai-sampai urat di lehernya terlihat. Semakin berkeringat sang ibu semakin keras Bu bidan memberikan semangat. Sementara itu sang Ayah tak henti-hentinya menyebut nama tuhannya sambil mendo’akan anak dan istrinya.

Pukul 5.50, saat sang ibu berada pada titik kelelahan tubuhnya, saat sang mentari baru keluar dari kamarnya, saat burung-burung ibuk bersulek, saat itu seorang bayi terlahir. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Seolah ingin berteriak “Dunia, aku datang. Sambutlah aku..!”. Namun pada kenyataannya tak ada kejadian istimewa yang menyambutnya. Hanya teriakan Bu bidan “Jaka Bu!”. Sungguh biasa. Namun engkau harus tahu kawan, bayi itu adalah aku.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bicara Tentang Pacaran

"Lebih baik langsung menikah daripada pacaran, aman." Seingatku begitu kata guruku saat berkomentar tentang tren anak muda sekarang : Pacaran. Tak ada yang salah dengan pendapat itu, malah secara sederhana bisa dikatakan benar. Namun saat kata-kata itu diucapkan pada anak-anak usia SMA rasanya terlalu berat. Tentu saja anak SMA belum siap untuk membangun rumah tangga baru diatas kata menikah. Tidur saja masih ikut emak. Selain itu pacaran dianggap banyak sisi negatifnya dibanding yang positif. Sudah sering saya jumpai cewek (saya sebut cewek karena saya anggap belum dewasa) yang hamil disaat masih pacaran. Jadi kesimpulan akhir dari kutipan diawal tadi adalah tidak usah pacaran. Apa sih enaknya pacaran? mungkin hanya manis diawal, saat sang pasangan baru mengatakan cinta. Jalan-jalan berdua, pergi nonton di bioskop, duduk berdua, bermanja-manjaan, bermesraan, atau yang parah sampai ML. Itu sebagian aktifitas saat pacaran yang saya tahu. Tak ada yang istimewa, kita pun bisa j...

Program Baru, Masalah Baru?

Aku hanya terdiam saat membaca sebuah selebaran dengan logo sebuah lembaga bimbingan belajar di bagian atasnya. Setelah tahu selebaran itu dikeluarkan oleh lembaga bimbingan belajar itu, minatku untuk membacanya semakin menipis. Karena kufikir selebaran itu hanya sebuah media promosi belaka. Selang waktu berganti, saat aku baru mengisi perutku yang langsing inio, aku mampir di sebuah warung kopi tempatku biasa nongkrong, dan kubaca berita di koran sama dengan di selebaran tadi. Jadi akhirnya aku tahu jika selebaran itu bukan hanya media promosi buta. Ini adalah berita besar kawan, yang menginvasi sebagian ruang otakku yang sempit. Menteri pendidikan baru punya program menghapus SNMPTN. Program yang bagus, penghapusan SNMPTN akan mempermudah jalan bagi calon-calon mahasiswa auntuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang diminatinya. Nilai UANpun akan lebih dihargai sebagai hasil kerja keras pelajar, karena selama ini nilai UAN hanya sebagai penghias di lembaran SKHUN. Padahal UAN...

Makhluk dari Hutan

Cerita ini bermula saat suatu hari aku dan teman-temanku ikut bimbingan belajar gratis di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar di Kota Kediri . Kami berangkat dari sekolah dengan naik sepeda motor. Ngeeng...wuz..membelah keramaian jalan kota, Ngebut. Dan seolah-olah the changcuters ikut mengiringi keberangkatan kami. Gila-gilaan bersama teman-teman, gila-gilaan di akhir pekan. Gila-gilaan , gila-gilaan, gila-gilaan. Sampai di tempat les kami langsung masuk dan ikut les dengan hati riang gembira. setelah satu jam setengah, les usai dan kami sholat di musholla yang ada disana. Aku telah usai sholat saat beberapa temanku baru masuk Musholla, kutaruh tas dan duduk-duduk di depan ruang pengajar yang letaknya bersebelahan dengan Musholla tadi. Kurasakan mulutku kering dan kerongkonganku seperti baru dijemur, lalu aku tengok kanan-kiri mencari teman yang kira-kira membawa air minum (maklum, orang miskin. Eh, memang tuhan sayang aku, kulihat ada dispenser tak jauh dariku. Langsung kuperiksa a...