Seorang ibu 3 anak meringis menahan rasa sakit di perutnya yang mengandung 9 bulan. Ia mengerang berusaha tidak mengeluarkan suara. Sang suami sudah mengerti apa yang dialami istrinya, namun meskipun demikian ia tetap gugup dan panik seperti saat menghadapi persalinan anaknya yang pertama. “Tenanglah Bu’, sekarang kita berangkat kerumah Bu Bidan”, ujar sang suami dengan keringat menetes di pipinya. Setelah itu mereka benar-benar pergi ke tempat praktik seorang bidan di Kecamatan. Melewati jalan desa yang berbatu, mengendarai motor Honda Astrea Impressa keluaran terbaru. Sepeda motor itu dibeli sang suami dari hasil kerja kerasnya selama menjadi guru di sebuah madrasah, 5Km dari rumahnya.
Sesampai di rumah bersalin mereka disambut oleh seorang wanita gemuk yang mungkin tak tampak seperti bidan, namun dialah bidan yang akan membantu persalinan ini nanti, Bu Tutik namanya. Ia mempersilakan sang ibu berbaring di atas ranjang berroda, dengan sang suami yang setia menunggu di sampingnya. Di tempat itu berjam-jam menunggu sang bayi lahir.
Sungguh besar perjuangan sepasang suami-istri ini, selama hampir 5 bulan sang istri tak makan nasi sedikitpun, dan hanya mencerna buah-buahan. Terang saja, tiap kali lidahnya menyentuh nasi ia akan memuntahkan isi perutnya. Oleh karena itu mau tak mau sang suami harus membeli buah-buahan setiap hari, sepulang mengajar. Tak peduli cemoohan orang-orang di pasar yang kekurangan topik pembicaraan. Hari demi hari ia selalu mampir ke penjual buah yang sama. Akhirnya diapun merasa malu pada orang-orang di pasar yang selalu memandanginya dengan tatapan aneh. Masih demi istri dan bayi yang dikandungya, ia rela pergi ke kota untuk membeli buah-buahan. Padahal ia harus menempuh jarak dua kali lebih jauh dari biasanya.
Semua itu dilakukannya tanpa mengeluh, karena ia telah melakukan hal yang sama pada saat istrinya mengandung anak-anakya yang lain, kecuali saat mengandung anak keduanya. Saat itu sang istri dapat makan dengan normal. Akan tetapi hal initernyata adalah pertanda buruk yang kelak akan membuat keduanya menangis.
Pukul 01.00 tanggal 24 April 1993. Sang suami terbangun dari tidurnya dan mendapati istrinya tertidur pulas dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Padahal beberapa jam yang lalu ia mengira istrinya akan melahirkan. Ia pun mulai ragu akan keputusannya membawa sang istri ke tempat ini. Ia beranjak keluar dari kamar bersalin itu dan menyusuri lorong rumah mencari tempat wudlu dan sholat. Ia ingin mengadukan rasa gundah hatinya pada Sang Pencipta, memohonkan keselamatan Istri dan kandungannya, menyampaikan keinginan keluarganya untuk mempunyai anak perempuan.
“Pak, bangun Pak.”, seorang anak Bu Tutik membangunkannya yang tertidur selepas sholat shubuh. “Istri Bapak akan melahirkan”, tambah si anak. Seletika itu ia bangun dari tidurnyadan berjalan cepat-cepat menuju kamar bersalin istrinya. Di kamar itu sedang terjadi adegan melahirkan seperti adegan-adegan melahirkan di sinetron. Sang istri berkeringat menahan rasa sakit dan berusaha mengeluarkan bayinya dari dalam kandungan. Bu bidan tak henti-hentinya memberikan semangat, “ayo bu, dorong…,tarik nafas,dorong lagi”, sampai-sampai urat di lehernya terlihat. Semakin berkeringat sang ibu semakin keras Bu bidan memberikan semangat. Sementara itu sang Ayah tak henti-hentinya menyebut nama tuhannya sambil mendo’akan anak dan istrinya.
Pukul 5.50, saat sang ibu berada pada titik kelelahan tubuhnya, saat sang mentari baru keluar dari kamarnya, saat burung-burung ibuk bersulek, saat itu seorang bayi terlahir. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Seolah ingin berteriak “Dunia, aku datang. Sambutlah aku..!”. Namun pada kenyataannya tak ada kejadian istimewa yang menyambutnya. Hanya teriakan Bu bidan “Jaka Bu!”. Sungguh biasa. Namun engkau harus tahu kawan, bayi itu adalah aku.
Sip Deh..........
BalasHapushaiiiiiiiiii...
BalasHapuseyip to zoe............?????
BalasHapus