Senin lalu 20 April 2009, siswa-siswi SMA di seluruh Indonesia menabuh genderang perang menghadapi Ujian Nasional (UN). Suasana tegang dan was-was menyelimuti hampir seluruh SMA di Negeri ini.
UN menjadi penyebab keseriusan yang sudah dimulai di pertengahan tahun, bahkan awal tahun ajaran. Betapa tidak, bagi sebagian besar pelajar, Ujian ini dianggap menjadi satu-satunya kunci untuk melanjutkan hidup yang lebih cerah, agar bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan tentunya agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Bagi pengurus sekolah, hasil UN dianggap bisa mempengaruhi gengsi dan pamor sekolah.
Dari tahun ke tahun suasana sekolah menjelang UN selalu sama. Waktu di kelas XII dihabiskan siswa untuk melahap latihan soal dan bimbingan belajar. Di sisi lain lembaga-lembaga bimbingan belajar beramai-ramai menawarkan program khusus menghadapi UN. Selain itu, tempat-tempat percetakanpun banyak menerima pesanan pembuatan banner-banner berisi kata-kata penyemangat yang biasanya dipasang di pintu gerbang sekolah.
Yang lebih hebat lagi adalah para siswa kelas XII yang menjadi lebih rajin belajar, lebih pendiam, dan yang biasanya sering melanggar peraturan sekolah kini semuanya bertaubat untuk menghadapi UN. Sekolah-sekolahpun banyak mengadakan do’a bersama. sebuah pemandangan yang unik. Maka patut dipertanyakan, “pantaskah Ujian Nasional menjadi barometer pendidikan di Indonesia?”.
Membentuk Karakter Pemuda
Menyambut hajatan nasional ini, banyak sekolah mengadakan do’a bersama. Ini adalah sebuah contoh kurang baik yang akan mengesankan “hanya berdo’a ketika akan UN”. Siswa-siswi yang sebelumnya santai-santai dan (mungkin) jarang berdo’a kini berdo’a dengan khusyu’ menghadapi beberapa hari yang akan menentukan 3 tahun di SMA.
Siswa-siswi digembleng habis-habisan dengan bimbingan belajar dan latihan soal. Bukankah terlihat dipaksakan?. Realita ini juga memberikan contoh pembelajaran yang buruk, mirip Sistem Kebut Semalam (SKS) yang kata Pak Guru harus dihindari. Karena memang cara belajar yang seperti ini tidak akan meninggalkan bekas di memori siswa.
UN ini juga dianggap kurang adil karena tingkat kualitas pendidikan di setiap sekolah yang berbeda, akan tetapi disodori standar kelulusan yang sama. Akibatnya jika sekolah bersangkutan merasa siswa-siswinya tak akan mampu menghadapi UN, maka petinggi sekolah akan lobi sana-sini mencari bocoran kunci jawaban. Tentunya agar seluruh anak didiknya dapat lulus dan imej sekolapun ikut terangkat.
Jika melihat fakta-fakta di dunia pendidikan kita sekarang, khususnya UN, maka jangan heran apabila generasi-generasi kita sekarang dan yang akan dating lebih cenderung menjadi generasi-generasi yang suka barang instant alias terima jadi. Dan akhirnya tetap menjadi bangsa konsumtif yang lemah. Maka pantaskah Ujian Masional menjadi barometer pendidikan nasional?.
wahhyuuuuuuuuuuuuuu....u
BalasHapusaq semumpel msoWg gae kalendEr d blog ra iso-iso.....