Selamat pagi kawan...
Ujian Nasional sudah lama berakhir, begitu pula dengan ujian-ujian lain di sekolahku. Masa berburu tempat kuliah juga telah berlalu bagiku (entah bagi kawan-kawan yang lain. he..he..). Kini setiap hari pekerjaanku duduk manis di depan komputer server sebuah warnet kecil. Ya, aku penjaga warnet.
Bukannya mau pamer, tapi aku sekedar ingin berbagi kebahagiaan padamu jika kutulis disini aku sudah diterima di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia. Sebagai orang yang tak pintar aku bisa disebut beruntung diterima di universitas nomor satu di Negeri ini.
Dulu aku sama sekali tak berminat masuk UI. Aku menganggap jika yang masuk UI orang-orang pintar saja pasti disana membosankan. Yang terbayang di kepalaku saat itu UI penuh dengan orang-orang berwajah tegang yang hanya belajar belajar dan beelajar. Kupikir dulu di sana mahasiswanya ga' gaul dengan dunia perpolitikan negeri. Padahal aku ini hobi, minat, dan peduli pada bidang itu. Semua anggapanku hilang sendiri setelah kubaca buku Catatan Seorang Demonstran, buku hariannya Soe Hok Gie yang diterbitkan itu.
Aku masih ingat catatan-catatan Gie tentang aktifitasnya di UI, yang meskipun dia orang intelek tapi dia tetap melek pada dunia perpolitikan indonesia. Seketika itu aku begitu mengidolakannya, ingin jadi sepertinya, ingin masuk universitasnya. Ingin ikut-ikutan jadi demonstran (meskipun sebenarnya aku orang yang tidak suka ikut-ikutan). Tapi semua itu kudasari dengan rasa peduli pada masa depan bumi pertiwi ini. Sok keren banget ya aku?
Namun semua keinginanku itu sempat kukubur dalam saat aku sudah diterima di sebuah perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jaminan kerjanya. Orang tuaku ingin aku di PTS itu saja. Aman. Tak perlu repot-repot cari kerja nantinya. Bahkan aku sudah disiapkan tempat tinggal di dekat PTS itu. Hatiku sempat berontak, karena bagiku kuliah bukan untuk cari kerja. Kalau hanya ingin kerja tak perlu lah repot-repot kuliah. Akan tetapi aku ikut saja kemauan oramg tuaku. Takut kualat.
Minatku untuk jadi demonstran muncul kembali setelah kudengar kabar pendaftaran Seleksi masuk UI telah dibuka. Dengan sedikit rayuan akhirnya ortu mengamini keinginanku. Tapi aku masih ragu. Aku malas belajar lagi untuk memperebutkan sebuah kursi yang presentasi diterimanya terbilang kecil itu. Kemudian aku ingat keinginanku yang kuanggap mulia dulu : masuk jurusan sastra jawa. Pasti tak seberapa sulit masuk jurusan itu karena peminatnya amat sedikit. Ditambah dorongan dan semangat dari sahabat-sahabat sekolahku, akhirnya aku jadi juga daftar.
Karena jurusan yang kupilih kedua-duanya termasuk bidang IPS mau tak mau aku harus menjalani seleksi dengan soal IPS. Aku belajar sesukaku, sesempatku. Ujian pun kujalani apa adanya. Ternyata tuhan ingin memberiku kesempatan untuk bergaya dengan jaket kuning. Aku diterima.
Aku tak ingin kalian menganggapku sebagai seorang yang cerdas, pintar, atau malah seorang kutu buku. Aku hanyalah anak muda biasa dengan hobi kluyuran yang beruntung.
Coba lihat fotoku ini

Sama sekali tak ada tampang pintar kan??
Niat awalku ingin masuk UI adalah agar aku bisa jadi mahasiswa pergerakan. Sekarang setelah diterima aku akan mencoba menata niatku lagi. Apakah tetap begitu, atau?
Setiap orang punya alasan masing masing dalam memilih skenario hidupnya, dan ini pilihanku! ini skenarioku!
Jadi..apa kau sudah membuat skenariomu kawan?
Ujian Nasional sudah lama berakhir, begitu pula dengan ujian-ujian lain di sekolahku. Masa berburu tempat kuliah juga telah berlalu bagiku (entah bagi kawan-kawan yang lain. he..he..). Kini setiap hari pekerjaanku duduk manis di depan komputer server sebuah warnet kecil. Ya, aku penjaga warnet.
Bukannya mau pamer, tapi aku sekedar ingin berbagi kebahagiaan padamu jika kutulis disini aku sudah diterima di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia. Sebagai orang yang tak pintar aku bisa disebut beruntung diterima di universitas nomor satu di Negeri ini.
Dulu aku sama sekali tak berminat masuk UI. Aku menganggap jika yang masuk UI orang-orang pintar saja pasti disana membosankan. Yang terbayang di kepalaku saat itu UI penuh dengan orang-orang berwajah tegang yang hanya belajar belajar dan beelajar. Kupikir dulu di sana mahasiswanya ga' gaul dengan dunia perpolitikan negeri. Padahal aku ini hobi, minat, dan peduli pada bidang itu. Semua anggapanku hilang sendiri setelah kubaca buku Catatan Seorang Demonstran, buku hariannya Soe Hok Gie yang diterbitkan itu.
Aku masih ingat catatan-catatan Gie tentang aktifitasnya di UI, yang meskipun dia orang intelek tapi dia tetap melek pada dunia perpolitikan indonesia. Seketika itu aku begitu mengidolakannya, ingin jadi sepertinya, ingin masuk universitasnya. Ingin ikut-ikutan jadi demonstran (meskipun sebenarnya aku orang yang tidak suka ikut-ikutan). Tapi semua itu kudasari dengan rasa peduli pada masa depan bumi pertiwi ini. Sok keren banget ya aku?
Namun semua keinginanku itu sempat kukubur dalam saat aku sudah diterima di sebuah perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jaminan kerjanya. Orang tuaku ingin aku di PTS itu saja. Aman. Tak perlu repot-repot cari kerja nantinya. Bahkan aku sudah disiapkan tempat tinggal di dekat PTS itu. Hatiku sempat berontak, karena bagiku kuliah bukan untuk cari kerja. Kalau hanya ingin kerja tak perlu lah repot-repot kuliah. Akan tetapi aku ikut saja kemauan oramg tuaku. Takut kualat.
Minatku untuk jadi demonstran muncul kembali setelah kudengar kabar pendaftaran Seleksi masuk UI telah dibuka. Dengan sedikit rayuan akhirnya ortu mengamini keinginanku. Tapi aku masih ragu. Aku malas belajar lagi untuk memperebutkan sebuah kursi yang presentasi diterimanya terbilang kecil itu. Kemudian aku ingat keinginanku yang kuanggap mulia dulu : masuk jurusan sastra jawa. Pasti tak seberapa sulit masuk jurusan itu karena peminatnya amat sedikit. Ditambah dorongan dan semangat dari sahabat-sahabat sekolahku, akhirnya aku jadi juga daftar.
Karena jurusan yang kupilih kedua-duanya termasuk bidang IPS mau tak mau aku harus menjalani seleksi dengan soal IPS. Aku belajar sesukaku, sesempatku. Ujian pun kujalani apa adanya. Ternyata tuhan ingin memberiku kesempatan untuk bergaya dengan jaket kuning. Aku diterima.
Aku tak ingin kalian menganggapku sebagai seorang yang cerdas, pintar, atau malah seorang kutu buku. Aku hanyalah anak muda biasa dengan hobi kluyuran yang beruntung.
Coba lihat fotoku ini
Sama sekali tak ada tampang pintar kan??
Niat awalku ingin masuk UI adalah agar aku bisa jadi mahasiswa pergerakan. Sekarang setelah diterima aku akan mencoba menata niatku lagi. Apakah tetap begitu, atau?
Setiap orang punya alasan masing masing dalam memilih skenario hidupnya, dan ini pilihanku! ini skenarioku!
Jadi..apa kau sudah membuat skenariomu kawan?
assalamualaikum...
BalasHapussebelumnya sy ucapkan selamat ya atas diterimanya di perguruan tinggi terkemuka di negri ini. semoga membawa keberkahan.
smua hal tdk bisa dliat bgus/jelek hnya dri sepintas melihat luarnya saja. utk memahami bgaimana sbnarnya sesuatu itu, kita harus mencari tau lebih detail tentangnya.
sedikit pesan untuk sobat2 dan tentunya sy sendiri, jangan pernah menilai sesuatu jelek hnya krna orang lain bilang itu jelek. gitu juga sebaliknya.
salam persahabatan...
wslm...
wa'alaikumsalam...
BalasHapustrimakasih doanya mbak..sy setuju dengan pesannya, memang kadak baik buruknya sesuatu tergantung dari mana kita melihatnya...
trimakasih komennya,,,
Luruskan niat Nak,karena segala sesuatunya akan kembali pada niat awal kita. Jika 'hanya' itu niatmu untuk kuliah di UI, maka hanya itulah yg akan kamu dapatkan. Bukan ilmu, apalagi ilmu yg barokah. Semoga Allah selalu menuntunmu untuk meluruskan niat dalam menuntut ilmu..
BalasHapusjangan demo dah... :)
BalasHapussaya aja gak demo
+ om willyo : Terimakasih kunjungannya...
BalasHapus+ bu ajeng : Sedang saya usahakan bu.
+ bang Affan : He..he... ikutan rame2 yok..