Hai, Teman. Saya saat ini sedang libur kuliah. Liburan kami dimulai sejak awal bulan Juni. Seperti biasa, setiap libur semester seperti ini, saya selalu pulang ke tanah kelahiran.
Saya dilahirkan di sebuah daerah di Provinsi Jawa
Timur. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Malang di sebelah timur, Blitar
dan Tulungagung di sebelah selatan, Jombang dan Nganjuk di sebelah utara.
Daerah ini terkenal sangat subur sejak zaman dahulu.
Jika di daerah lain, yang bahkan seprovinsi, ditemukan tanah yang tidak cocok
ditanami salah satu jenis tanaman, di daerah kami tak ada cerita seperti itu.
Semua bisa tumbuh subur, kecuali tanaman yang memang membutuhkan suhu khusus.
Daerah ini subur kemungkinan besar karena sering terkena letusan gunung berapi
dan karena banyak dilalui sungai. Daerah ini memang diapit beberapa gunung. Di
sisi barat terdapat Gunung Wilis, di sisi timur tertancap Gunung Kelud dan
Gunung Arjuno. Meski diantara gunung-gunung tersebut hanya Gunung Kelud yang
masih aktif, namun materi letusan gunung ini dapat tersebar ke seluruh penjuru
daerah melalui sungai-sungai. Sungai yang mengalir melalui daerah ini pun
banyak, dari yang kecil hingga besar. Salah satu sungai legendaris yang melalui
daerah ini adalah Sungai Brantas.
Daerah ini kemungkinan besar adalah pusat sebuah
kerajaan besar pada abad ke-11. Pusat di sini benar-benar bermakna pusat. Di
daerah ini banyak ditemukan benda-benda purbakala dari batu yang menunjukkan
kemungkinan adanya sebuah keraton di zaman dahulu. Orang-orang menyebut daerah
ini dengan nama Kediri.
Saya lahir di Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, dua
puluh tahun yang lalu. Saya pun dibesarkan di daerah ini hingga usia empat
belas tahun. Di Dusun Kaotan, Desa Semen, saya menghabiskan masa kecil sambil
sesekali dititipkan di tempat kakek di desa sebelah. Saya masih ingat bagaimana
dulu orang tua dan kakek-neneksaya sering mengajak saya ke sawah, begitu pula
orang tua teman sekampung saya, dan kakek-nenek teman sekampung saya mengajak
teman-teman saya ke sawah. Sawah kami subur,tak pernah sekalipun menganggur.
Selain menggarap sawah, kebanyakan orang di desa kami
juga memelihara hewan ternak seperti ayam, kambing, atau sapi. Untuk melengkapi
aktivitas bertani dan beternak itu, hampir setiap rumah di daerah kami
dilengkapi kandang di belakang rumah dan pelataran luas untuk menjemur hasil
panen di depan rumah. Begitulah, orang-orang di dusun kami dapat hidup cukup
dengan hasil pertanian.
Anak-anak di dusun kami setiap pagi bersekolah di SD
atau MI di pusat desa. Sepulang sekolah, jika tidak tidur, kami bermain bersama
di pelataran rumah. Saat pukul setengah dua siang, kami dengan malas pergi
sekolah sore (sebutan untuk TPA di tempat kami). Kami belajar cara sholat,
membaca Al-Quran, dan hukum-hukum Islam di sini. Bahkan kami juga belajar
bahasa Arab. Sekolah sore ini awalnya di musholla yang menempel dengan rumah
seorang kyai, namun kemudian dipindah ke masjid. Kami bersekolah sore hingga
pukul lima, dan hanya libur pada hari Jumat.
Setelah sekolah sore kami pulang ke rumah. Setelah
sholat maghrib kami harus berangkat mengaji Al-Quran di rumah tetangga. Setiap
RT di dusun kami setidaknya memiliki satu tempat mengaji. Kami ke tempat itu
setiap hari, hanya libur pada hari kamis.
Setiap hari kamis setelah sholat maghrib kami punya
aktivitas lain, namanya yasinan. Kami
berkumpul di rumah salah seorang teman kami untuk membaca tahlil dan Surat Yaa
Siin bersama-sama. Tempat acara pun bergiliran. Begitulah kegiatan kami sebagai
anak-anak Dusun Kaotan. Jika tak ikut rutinitas itu, kami akan dikucilkan.
Padatnya kegiatan kami membuat kami tidak sempat
berbuat yang aneh-aneh. Kami selalu taat pada perintah agama. Jika di desa lain
ada cerita seorang anak laki-laki ketahuan mencuri barang berharga atau mabuk
minuman keras, di dusun kami paling-paling hanya ketahuan mencuri rambutan atau
main petasan. Jika di daerah lain ada cerita anak perempuan ketahuan pacaran
atau bahkan hamil diluar nikah, anak perempuan di tempat kami baru sampai pada
tahap ketahuan memendam cinta monyet pada temannya.
Itu dulu.
Kini saya menemukan keganjilan pada perilaku anak-anak
muda di sini. Beberapa remaja laki-laki ada yang hobi minum minuman keras ada
yang pecandu narkoba. Remaja perempuan, yang notabene generasi di bawah saya,
banyak yang sering ketahuan pergi dengan cowok dari daerah lain. Bahkan, ada
pula yang sering diajak pesta miras dan sering diapa-apakan. Meski masih banyak
pula yang baik-baik, namun segelintir keganjilan ini mengganggu pikiran saya
karena dulu desa saya tak seperti ini.
Saya telah bertanya kepada beberapa teman tentang hal
ini hingga saya mendapatkan beberapa kesimpulan. Remaja laki-laki yang nakal
ini ternyata adalah para perantau dan temannya. Mereka umumnya lulusan SD
hingga SMP dan pernah bekerja di kota-kota besar, seperti Surabaya dan
Denpasar. Sempurna. Pendidikan minim yang berkombinasi dengan bakat nakal,
pengawasan orang tua yang kurang, dan modal. Setelah bekerja keras selama
setahun, waktu pulang kampung digunakan untuk bersenang-senang menghabiskan
tabungan.
Remaja perempuan memiliki cerita yang berbeda. Mereka
yang saya anggap nakal ini ternyata terdiri dari dua kelompok. Pendatang dan
pribumi. Kelompok pendatang dapat dipahami mungkin dulu di daerah asalnya tak
mendapatkan didikan agama yang cukup, sedangkan kelompok pribumi ternyata
umumnya bersekolah di sekolah yang kurang baik anak-anaknya, dan kebetulan juga
mereka salah pergaulan. Ternyata faktor sekolah dan pergaulan ini juga dialami
oleh kelompok pendatang. Fantastis.
Dulu, saat saya kecil, saya tidak menemukan
pemuda-pemuda pendahulu saya yang pergi merantau untuk bekerja di kota besar.
Kalaupun ada yang merantau, itu pun untuk belajar di pesantren. Sekarang lahan
pertanian semakin sempit, hasil panen pun tak lagi memadai untuk menyambung
hidup, paduan dua hal ini memaksa pemuda-pemuda dusun kami merantau ke daerah
lain, meski hanya untuk menjadi pekerja kasar.
Para pemudi yang lebih tua dari saya dulu sangat
pendiam. Meski hanya belajar hingga SMP, tapi mereka tak banyak tingkah. Jika
ada yang setelah SMP masih bersekolah, itu pun di pesantren atau madrasah
aliyah. Satu lagi yang istimewa, meski tak sekolah tinggi, saya tidak pernah
menemukan mereka menikah di bawah usia dua puluh tahun.
Saya prihatin melihat kenyataan-kenyataan ini. Dusun
kami sepertinya membutuhkan lapangan kerja di dekat rumah agar para pemuda
tidak keluar daerah dan tidak salah gaul. Tidak hanya itu, kami juga
membutuhkan cara pendekatan baru untuk mendidik anak-anak agar sesuai dengan
yang diajarkan kyai-kyai. Cara lama berupa TPA, mengaji, dan yasinan yang telah belasan tahun dipakai
sekarang tak efektif lagi. Sekarang saya baru bisa berpikir. Doakan saya bisa
berbuat sesuatu ya.
aamiin :)
BalasHapus