Langsung ke konten utama

Tentang Istana di Antara Gubuk-Gubuk




9 Agustus 2013. Saya Wahyu Zuli Firmanto, mahasiswa Program Studi Jawa FIB UI. Saya saat ini masih di kampung halaman, di Dusun Kaotan, Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Banyak cerita dari sini yang ingin saya bagikan pada kalian. Ini salah satunya.
          Di dusun saya, kini ada beberapa rumah baru yang berdiri. Rumah-rumah baru ini umumnya dihuni oleh keluarga-keluarga muda kaya yang pulang dari luar daerah, keluarga agak tua yang sukses dari perantauan, dan pendatang yang juga kaya. Karena kaya, maka mereka membangun rumahnya dengan gaya mewah. Dinding teras dilapisi keramik, halaman rumah dipaving, dan pagar kiri-kanan-depan ditinggikan. Saya merasa tidak nyaman melihat gaya bangunan seperti ini karena terlihat tidak membaur dengan lingkungan sekitar. Merusak “keindahan”.
         Bagi saya, keindahan suatu hal adalah kepaduan antara unsur-unsur pembentuknya. Kepaduan tidak menuntut kesamaan atau kemiripan, tetapi kepaduan menuntut setiap unsur tidak saling “merusak” unsur yang lain.
         Rumah-rumah di dusun kami umumnya menggunakan pagar tembok setinggi satu meter dengan cat putih. tembok-tembok pagar ini berujung pada gapura yang bentuknya sama di setiap rumah. Penduduk di dusun kami umumnya hanya bekerja sebagai petani atau buruh pabrik, jadi bentuk rumahnya sederhana. Meski ada rumah besar milik orang kaya, bentuk luarnya tetap sederhana, hanya perabotan di dalam rumah yang berbeda. Pagarnya juga sama dengan rumah-rumah lain.
           Kehadiran rumah-rumah baru berbentuk mewah membuat rumah-rumah di sekitarnya terlihat kusam, lusuh, dan menyedihkan. Pagar-pagar tinggi dari besi milik rumah-rumah baru itu seakan mencurigai orang-orang dusun yang jujur. Pagar itu akan cocok jika dipakai di perumahan kota.
           Pemandangan seperti di dusun saya ternyata saya temukan juga di kota. Suatu hari saat saya keliling Kota Kediri, saya menemukan keadaan serupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bicara Tentang Pacaran

"Lebih baik langsung menikah daripada pacaran, aman." Seingatku begitu kata guruku saat berkomentar tentang tren anak muda sekarang : Pacaran. Tak ada yang salah dengan pendapat itu, malah secara sederhana bisa dikatakan benar. Namun saat kata-kata itu diucapkan pada anak-anak usia SMA rasanya terlalu berat. Tentu saja anak SMA belum siap untuk membangun rumah tangga baru diatas kata menikah. Tidur saja masih ikut emak. Selain itu pacaran dianggap banyak sisi negatifnya dibanding yang positif. Sudah sering saya jumpai cewek (saya sebut cewek karena saya anggap belum dewasa) yang hamil disaat masih pacaran. Jadi kesimpulan akhir dari kutipan diawal tadi adalah tidak usah pacaran. Apa sih enaknya pacaran? mungkin hanya manis diawal, saat sang pasangan baru mengatakan cinta. Jalan-jalan berdua, pergi nonton di bioskop, duduk berdua, bermanja-manjaan, bermesraan, atau yang parah sampai ML. Itu sebagian aktifitas saat pacaran yang saya tahu. Tak ada yang istimewa, kita pun bisa j...

Program Baru, Masalah Baru?

Aku hanya terdiam saat membaca sebuah selebaran dengan logo sebuah lembaga bimbingan belajar di bagian atasnya. Setelah tahu selebaran itu dikeluarkan oleh lembaga bimbingan belajar itu, minatku untuk membacanya semakin menipis. Karena kufikir selebaran itu hanya sebuah media promosi belaka. Selang waktu berganti, saat aku baru mengisi perutku yang langsing inio, aku mampir di sebuah warung kopi tempatku biasa nongkrong, dan kubaca berita di koran sama dengan di selebaran tadi. Jadi akhirnya aku tahu jika selebaran itu bukan hanya media promosi buta. Ini adalah berita besar kawan, yang menginvasi sebagian ruang otakku yang sempit. Menteri pendidikan baru punya program menghapus SNMPTN. Program yang bagus, penghapusan SNMPTN akan mempermudah jalan bagi calon-calon mahasiswa auntuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang diminatinya. Nilai UANpun akan lebih dihargai sebagai hasil kerja keras pelajar, karena selama ini nilai UAN hanya sebagai penghias di lembaran SKHUN. Padahal UAN...

Makhluk dari Hutan

Cerita ini bermula saat suatu hari aku dan teman-temanku ikut bimbingan belajar gratis di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar di Kota Kediri . Kami berangkat dari sekolah dengan naik sepeda motor. Ngeeng...wuz..membelah keramaian jalan kota, Ngebut. Dan seolah-olah the changcuters ikut mengiringi keberangkatan kami. Gila-gilaan bersama teman-teman, gila-gilaan di akhir pekan. Gila-gilaan , gila-gilaan, gila-gilaan. Sampai di tempat les kami langsung masuk dan ikut les dengan hati riang gembira. setelah satu jam setengah, les usai dan kami sholat di musholla yang ada disana. Aku telah usai sholat saat beberapa temanku baru masuk Musholla, kutaruh tas dan duduk-duduk di depan ruang pengajar yang letaknya bersebelahan dengan Musholla tadi. Kurasakan mulutku kering dan kerongkonganku seperti baru dijemur, lalu aku tengok kanan-kiri mencari teman yang kira-kira membawa air minum (maklum, orang miskin. Eh, memang tuhan sayang aku, kulihat ada dispenser tak jauh dariku. Langsung kuperiksa a...